Batas Kecerdasan Robotik dan Kisah Manusiawi Sugeng Hariyanto, Munsyi

Yowidiyanto
4 min readAug 14, 2024

--

“Bitten in the throne of flirtation,” were we, now? Thanks for nothing, YouTube AND DeepL.

Saya menonton program Rapid Questions: Dari Nostalgia Gombal hingga Alasan Jadi Penerjemah di kanal YouTube Transkomunika Kencana. Hadir sebagai bintang tamu sang bos Transkomunika, Sugeng Hariyanto (HPI-01-06–0103).

Beliau adalah dosen di Politeknik Negeri Malang (Polinema), penerjemah senior, serta penulis buku ajar dan penyair sekaligus penerjemah puisi karya para penulis dan penyair kenamaan. Singkatnya: munsyi.

Munsyi [lit., ‘creator; pioneer’], n. language teacher; linguist; poet (Source: KBBI VI Daring)

Ada yang menggelitik dan membuat saya agak jemawa sebagai anggota spesies Homo sapiens, yakni fakta bahwa teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), setidaknya untuk saat ini (2024), masih menghasilkan terjemahan berdasarkan audio yang cukup menghibur sekaligus menyedihkan (entah nanti, setidaknya menghibur diri saja dulu).

Anachronism? Character assassination? Guilty on all counts (Original: “Saya suka nonton wayang sejak kecil.”).

Pada akhirnya, sisi manusiawi seorang Sugeng Hariyanto begitu menginspirasi bagi saya (tekadnya untuk menjadi orang yang bisa diandalkan dan kegemarannya membaca, serta upayanya mematahkan stigma perilaku buruk anak dari ibu tunggal, yang di zaman now biasa dirangkum dalam umbrella term: fatherless behaviors, bisa saya amini karena perasaan senasib dan seminat). Saya juga menantikan autobiografi yang dalam siniar ini dinyatakan olehnya akan diterbitkan (EDIT: beliau berbaik hati telah berkenan mengagih buku autobiografinya, Tak Ada yang Pergi dari Hati: Hikmah dari Rekan, Sahabat dan Keluarga, secara cuma-cuma kepada para rekan sesama pencinta bahasa di sebuah grup WhatsApp. Terima kasih, Pak Sugeng!).

Berikut ini transkrip (closed caption) petikan menarik dari siniar berdurasi 22 menit ini (21 poin), tetapi, sebelumnya, izinkan saya mengagih kutipan nukilan buku Dasar-Dasar Penerjemahan Teks Hukum karyanya:

Buku ini kupersembahkan bagi mahasiswa terjemahan dan calon penerjemah hukum, dan penerjemah hukum yang senantiasa berupaya membantu memberi kepastian dan keadilan hukum bagi para pihak dalam naskah yang diterjemahkan.

Robot mungkin bisa meniru “jiwa” tulisan ini, tetapi “jiwa” imitasi hasil percobaan algoritma dan komputasi takkan sehangat semangat yang asli.

2:00 “Masa kecil serba sulit atau masa kecil serba mudah?” “Serba sulit.”

2:44 “Penulis atau penerjemah?” “Penulis.”

2:53 “Puisi atau cerpen?” “Puisi.” “Puisi atau artikel ilmiah?” “Puisi.”

3:09 “Saya akan ceritakan sedikit saja (masa kecil saya), karena cerita yang banyak nanti ada di autobiografi saya.”

3:14 “(Masa kecil saya) sulit (dilihat) dari dua perspektif. Dari perspektif ekonomi itu menderita, melarat; dari perspektif sosial juga tidak baik karena saya dari broken family dan saya hidup dengan ibu saya sendiri, dan di desa itu perceraian itu sesuatu yang tabu, ya. Orang memandang perceraian itu sebagai sesuatu yang sangat buruk. Belum bicara kesulitan yang ketiga: psikologis . . . Kesulitan ekonomi dan sosial berefek pada kesulitan psikologis.”

6:38 “Karena saya tumbuh dari keluarga yang seperti tadi, sejak kecil saya mempunyai ketetapan bahwa saya harus menjadi pria yang bisa diandalkan, dan saya jalani yang saya pikirkan; saya imajinasikan itu sampai sekarang.”

8:02 “Le, nak, enggak usah menyanyi dan main gitar. Hidup kita ini susah (kata Ibu saya). Dan saya terdiam. Makanya sampai sekarang saya enggak bisa nyanyi . . . nanti ditunggu (ceritanya) di autobiografi saya saja, ya.”

10:17 “Kalau sekarang pemirsa ingin menjadi guru, hati-hati menerima apa yang disampaikan mahasiswanya atau siswanya . . . barangkali ini bisa membunuh, bukan menumbuhkan, ya, membunuh bakat yang barangkali ada (dalam diri murid itu).”

10:47 “Kadang kala, bagi kita, berbuat sesuatu . . . menolak itu biasa, tapi mungkin itu berefek fatal pada orang yang sebenarnya ingin menumbuhkan kebisaannya. (Saat) ditolak atau tidak ada apresiasi, (si murid ini) menjadi down.”

11:22 “Seorang guru yang baik adalah yang bisa menginspirasi. Bagaimana muridnya itu bisa melanjutkan hidupnya setelah lulus dan terinspirasi oleh cerita-ceritanya, oleh kisahnya, oleh cara berinteraksi.”

11: 52 “Pada saat kita menjiwai profesi kita sebagai guru itu, kita harus menginspirasi, kita harus bisa menjangkau (hati murid kita).”

16:51 “Surga bagi saya (saat kecil dan memiliki kamar dengan dua genting kaca tempat tembus berkas sinar mentari) adalah (saat) saya tidur di atas gombal [kain lap/perca — pentranskrip] dan membaca (buku-buku karya penulis Pujangga Lama/Balai Pustaka, primbon, kitab pedalangan, pantun, dan soneta).”

18:06 “Saya belajar gaya bahasa personifikasi, sinekdoke, saya belajar usia Kelas 3 atau Kelas 4 SD di kamar yang itu tadi; di atas gombal.”

18:36 [Pewawancara]: “Biasanya orang yang pinter bikin (puisi) juga suka (menggombal). [Pak Sugeng]; Iya, barangkali begitu. [tertawa]”

18:58 “Saya suka nonton wayang sejak kecil.”

19:16 “Buku pedalangan itu buku outline (of) wayang stories, (mulai dari jenis lakon, urutan adegan, dsb.), ada contohnya juga bagaimana suluk, bagaimana (irama gamelannya, dll).”

20:06: “Pada pertunjukan wayang itu, ‘kan, orang berbicara dengan nadanya sendiri, dan saya coba (menangkap yang) dicerminkan dalam pembicaraan itu, pilihan kata, dan lain sebagainya; ada filsafat di sana.”

20:47: “Pada saat itu nanti diumumkan lakonnya apa, saya sudah bisa menebak, ‘Oh, alur ceritanya begini,’ sehingga saya (menonton pertunjukan wayang) itu hanya mencari deviasi antara alur utama (dan) yang diceritakan (dalam lakon wayang itu).”

21:06: “Artikel ilmiah pertama saya pada saat saya S1 dan membuat dosen tertegun adalah (tentang) kajian wayang “mbeling”. Wayang mbeling adalah cerita wayang yang (dimuat) di (rubrik harian Jawa Pos). Saya mengkaji deviasi cerita wayang yang pakem dengan yang (ditulis) di (rubrik Jawa Pos) itu.”

21:33 “Alasan (saya memilih menjadi penulis daripada penerjemah) sederhana: orang enggak bakal bisa menerjemahkan dengan baik jika tidak bisa menulis dengan baik.”

21:49 “(Keterampilan membuat) puisi itu puncak pencapaian dari semua keterampilan berbahasa (atau) penguasaan berbahasa. Kalau (kita) bisa membuat puisi, menerjemahkan, menulis, dan sebagainya itu bisa bagus (hasilnya). Itu keyakinan saya.”

--

--

Yowidiyanto
Yowidiyanto

Responses (2)