Hot take:
Memang, bahasa Indonesia rawan dijadikan alat kendali masyarakat oleh otoritas fasis tipis-tipis seperti pusat bahasa (atau saat ini lebih tepatnya oleh influencer pencinta bahasa Indonesia seperti Ivan Lanin), tapi masyarakat sendiri SANGAT BISA merebut kembali bahasa Indonesia ke tangannya masing-masing dengan mempelajari segala tetek-bengek kaidah ejaan (spelling), tata bahasa (grammar), dan tanda baca (punctuation) agar GAGASAN yang kita ungkapkan dalam bahasa Indonesia (terutama untuk nonfiksi) bisa tersaji atau dipaparkan dengan baik, yaitu masuk akal dan pas sesuai konteks.
Aturan, yang tak lagi relevan atau enggak masalah buat dilanggar, selama logika dan substansi teks atau nilai estetis alias licencia poetica terjaga, dibuat untuk dilanggar.
Namun, aturan IDEALNYA dilanggar bukan karena kita bahkan enggak tahu atau nggak ngeh bahwa aturan itu ada (we don't know any better), melainkan karena kita tahu aturan itu ada, tetapi kita MEMILIH melanggarnya karena kita tahu opsi yang lebih baik (secara objektif untuk nonfiksi, dan secara objektif untuk fiksi, atau malah keduanya, jika perlu), dan MAMPU menjelaskan serta mempertanggungjawabkan keputusan memilih opsi tersebut (we know better to break the rules where necessary).