Poin Menarik Siniar Ivan Lanin dan Raditya Dika tentang Bahasa Indonesia

Yowidiyanto
9 min readAug 11, 2024

--

Three holy scriptures for Indonesian language lovers, with snot stains in the backdrop by my cat, Benny

Kemarin saya menonton video siniar Ivan Lanin (Medium: Ivan Lanin) di kanal YouTube Raditya Dika (Medium: Raditya Dika) (“Yang Bisa Bahasa Indonesia, Nonton Ini!”) yang dibagikan Ricky Zulkifli (HPI 01–12–0472) di salah dua grup WhatsApp pencinta bahasa (BUKAN pecinta bahasa, seperti selama ini saya salah kaprah), yaitu Bahasa dan Terjemahan (Bahtera) dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI).

Siniarnya sangat mencerahkan dan menginspirasi, karena dalam episode ini dibahas hal yang jadi kegemaran saya selama satu setengah dekade ini, yakni bahasa (dalam konteks ini, bahasa Indonesia).

Seru. Kalau enggak percaya, tonton aja, deh. 99,99% daging semua (0,01% tulang karena ‘zat asam arang’ dipadankan menjadi ‘oksigen’ alih-alih ‘karbon dioksida’).

Berikut ini transkrip nonverbatim (atau closed caption) untuk poin-poin menarik dari siniar tersebut.

0:46 “Bahasa Indonesia itu punya dua awalan pembentuk kata kerja. Ada ber-, ada me- . . . misalnya, ‘berdagang’ dan ‘mendagangkan’, terus ‘mencintai’ dan ‘bercinta’ . . . yang men-, itu jadinya pen-, kalau yang ber-, jadinya pe- . . . Jadi . . . orang yang mencintai itu ‘pencinta’, kalau orang yang ‘bercinta’ itu ‘pecinta’.”

2:34 “Salah kaprah soal bahasa Indonesia itu banyak yang sudah lazim terjadi sehingga kita menerima itu sebagai sebuah kebenaran aja, gitu, ‘kan? Iya, kesalahan atau kebohongan yang dinyatakan berkali-kali akan menjadi kebenaran.”

3:21 “Kalau di- dipisah itu menunjukkan tempat. Di- yang digabung menunjukkan kata kerja. Kita lihat aja, ada kata kerja aktifnya enggak? Kalau ada, itu berarti digabung; kata kerja. Terus misalnya di sana. Menyana ada enggak? Enggak ada. Berarti dipisah.”

5:28 “Ada yang disebut dengan lisensi puitis atau licencia poetica . . . Artistic license atau lisensi puitis. Poetic license juga sering disebut. Itu adalah kebebasan yang dimiliki oleh sastrawan, pada awalnya, untuk menekuk atau melenturkan kaidah bahasa untuk mencapai aspek estetika. Cuma, itu harus dilakukan dengan kesadaran, bukan karena keabaian.”

6:29 “Biasanya penerbit menyarankan narasi yang ditulis oleh penulis itu tetap menggunakan kaidah yang baku, (sedangkan) dialog, karena digunakan oleh masyarakat awam . . . tulisnya (persis) dengan apa yang diucapkan oleh orang yang menjadi karakter tersebut.”

7:15 “Bedanya orang Jawa sama orang Melayu adalah orang Melayu itu tidak masalah dengan diftong: ‘ai’, ‘au’, (yaitu) dua vokal yang diucapkan barengan (misalnya, cabai, satai, petai, pulau, kalau).”

7:59 Pengembangan ragam bahasa itu . . . untuk menentukan (kata mana) yang menang untuk dibakukan, tuh, gimana caranya? Kita kebetulan punya lembaga bahasa. Indonesia ikut (melakukan) pembakuan (seperti di Prancis dan Spanyol). Setelah merdeka, kita melihat konsep itu. Bahasa Indonesia ini sebenarnya umurnya baru. Sebelum ada bangsa Indonesia, enggak ada bahasa Indonesia. Yang ada bahasa Melayu. Suku Indonesia, tuh, enggak ada. (Pembentukan) Indonesia itu adalah niat politik. (Para pemuda penggagas Sumpah Pemuda . . . ngobrol (dengan) bahasa Belanda, karena mereka orang terdidik, kayak ita aja sekarang anak Jaksel. Bahasa pengantarnya bahasa Inggris, ‘kan? Nah, waktu dulu (itu) bahasa Belanda. Kita enggak mungkin menggunakan bahasa Belanda . . . kita mau merdeka, kok. Akhirnya disepakatilah (bahasa) Melayu. Kenapa enggak bahasa Jawa, walaupun waktu itu paling banyak adalah perwakilan orang Jawa? Karena bahasa Jawa itu ada strata. Enggak sesuai dengan konsep yang dibawa, yaitu egaliter.”

10:20 “Bahasa Inggris pun sekarang juga makin kasual.”

10:38 “Mustahil kita bisa jadi satu bangsa kalau enggak punya satu bahasa. Untuk menyatukan sebuah bangsa itu . . . biasanya (kita memandang) asal suku, asal agama. Nah, kita, ‘kan sukunya beda-beda, agama beda-beda, malah kadang itu jadi bahan buat berantem, ‘kan?”

11:32 Papua = 400 bahasa. Indonesia punya 718 bahasa (menurut catatan resmi), cuma kalah jumlahnya dari Papua Nugini.

14:45 “Yang enggak bisa ditiru oleh chatGPT itu adalah kayak gayanya Bang Radit. Gaya Bercerita. Storytelling. Nah, saya enggak bisa. Itulah yang kemudian membuat saya berlatih nulis tiap hari. Jadi, saya nulis tiap hari, nih, sekarang di Medium. Saya berlatih bercerita.”

17:24 “Cara paling baik untuk menolak; pertama kali setuju dulu.”

18:16 “Ini ada legalisasi, bukan legalisir? Ya, itu sebenarnya terjadi karena peralihan haluan kita. Dulu kita berkiblatnya ke bahasa Belanda. Sejak 1970-an, ada orang-orang yang merancang bahasa kita, ini Badan Bahasa, di bawahnya Kemendikbud . . . mereka itulah yan merencanakan dan membina bahasa kita, salah satunya dengan menentukan (haluan) kita mau ke mana. Orang tua kita rata-rata haluannya bahasa Belanda, karena pendidikannya memang bahasa Belanda. Tapi, sejak kita memerdekakan diri dari Belanda, kita lihat lingua franca, bahasa Inggris, bahasa penyatu (atau) penghubung, (padanannya) dalam bahasa Indonesia itu basantara.”

19:56 “Kadang-kadang memang bunyi itu menentukan penerimaan. Penerimaan kata itu memang tergantung kebiasaan.”

21:42 “(Dalam bahasa Indonesia) memang ada (kaidah) sisipan: ‘el’, misalnya telunjuk dari kata tunjuk. Nah, itu digunakan untuk membuat kata-kata baru, cuma penerimaannya memang tergantung enak apa enggak.”

22:18 “Bahasa itu berasal dari masyarakat. Orang mengomunikasikan arti sebuah kata melalui mulut ke mulut. Itu berlaku pada bahasa nonformal dan formal.”

23:04 urun daya = crowdsourcing (dipopulerkan Donny BU sekitar tahun 2012); urun dana = crowdfunding; narablog = blogger (dipopulerkan Enda Nasution)

24:15 “Kalau misalnya kata itu bisa kita ucapkan dengan gampang, oleh orang Indonesia, kita enggak perlu cari padanan yang berbeda.”

24:55 “Pernah ada masa ketika para pembuat padanan bahasa Indonesia itu garis keras. Jadi, harus ada (padanan bahasa Indonesia untuk segala istilah asing). Contoh: ilmu hayat (biologi) dan zat asam arang, (yaitu) oksigen (sic) [seharusnya karbon dioksida — pentranskrip]. Mereka akhirnya berusaha membuat istilah yang benar-benar menggunakan bahasa Melayu asli, karena merasa bahwa kita harus sebanyak mungkin menggunakan istilah bahasa sendiri, bahasa Melayu tepatnya. Waktu awalnya itu (penutur Malaysia) lebih banyak menggunakan istilah sendiri, walaupun sekarang mereka lebih banyak menyerap, dan menyerapnya orang Malaysia itu lebih harfiah daripada kita. Cara menyerapnya berbeda (dari orang Indonesia).”

26:16 “Sah banget (menyerap kata dan frasa dari bahasa asing), malah itu bisa membuat kosakata kita bertambah. Kita punya pola-pola, misalnya, immigration belakangnya -tion, jadi imigrasi . . . information jadi informasi.”

27:06 “Kenapa beberapa kata istilah asing diserap utuh, kayak tadi blog. Gratis juga, dari bahasa Belanda? Yang dilihat isu kesesuaian antara . . . kalau bahaasa Indonesia dan bahasa Inggris itu salah satu bedanya kalau (bahasa Indonesia) itu antara huruf (dan) pengucapan itu sama. Bahasa Inggris enggak. Jadi, untuk teks sesuai pelafalan kita serap utuh? (Iya), biasanya begitu.

27:54 “Jadi, 2006 itu, ’kan saya mulai menulis di Wikipedia. Itu titik baliknya. Sebelum 2006, saya ‘anak Jaksel’, enggak peduli dengan bahasa sama sekali; ngomong kayak anak sekarang lah, enggak peduli nyampur-nyampur apa gimana, yang penting pesannya sampai. Gara-gara (aktif) di Wikipedia, mulailah perhatian dengan ketertiban menulis; jadi belajar.”

28:19 “Apa yang menyebabkan waktu itu mau ngisi Wikipedia? Awalnya gabut.”

32:41 “Makin sering kita melakukan sesuatu, makin terampil kita melakukannya.”

32:52 “Masalah buat orang Indonesia adalah kita itu antara bahasa formal dan bahasa nonformal itu bedanya jauh banget. (Raditya Dika) biasa menggunakan bahasa nonformal, semntara para editor itu acuannya adalah bahasa formal, enggak nyambung.”

33:15 “Saya berlatih untuk menggunakan bahasa formal, karena bahasa nonformal enggak perlu diajarin. Itu sehari-hari kita sudah gunain.”

33:21 “Yang jadi tantangan: gimana caranya membanyol dengan bahasa formal? Wah, itu susah, sih, kayaknya, karena itu persoalan komunikasi, ‘kan? Kadang-kadang masalahnya gini: salah satu objek buat dibanyolkan itu adalah pelesetan kata. Dan pelesetan kata bahasa formal itu susah dicari. Kalau bahasa nonformal gampang. Misalnya, elu mau tahu? Mau dong. Cuma masalahnya, antara tahu yang maknanya makanan dan tahu yang maknanya informasi itu kadang-kadang orang enggak bisa bedain.”

34:12 “Kalau (membanyol) dilakukan dalam konteks formal, orang tuh kadang-kadang enggak nangkep banyolannya, sementara kalau sambil ngobrol, dengan ekspresi dan gestur, jadi ketahuan, ‘kan?”

34:40: “(Dalam bahasa Inggris), benar-benar cuma mainin logika, dia bisa bercanda, dan bahasa Inggris tuh antara ragam formal dan nonformal enggak beda jauh, jadi mereka enggak susah (membanyol/melawak).”

36:01 “Daripada curhat terus setiap hari, enggak ada kerjaan, mendingan saya pikir waktu itu melakukan sesuatu yang berguna untuk nusa dan bangsa.”

36:21 “Sebenarnya ketika kita ditanya orang, belum tentu semuanya kita mengerti. Mau enggak mau (kita belajar). Justru dengan banyaknya pertanyaan itu saya makin dipaksa untuk belajar.”

38:15 “Sebenarnya kalau dibilang enggak boleh (pakai kosong alih-alih nol di awal kalimat), enggak akan ada hukuman Tuhan juga sih, gara-gara bahasa, cuma maksudnya, kalau kita mengikuti kaidah yang benar, harusnya kita nyebutnya nol, kalau dalam bahasa Inggris, enggak mungkin kita bilang nomor HP kita, ‘Empty, empty….’”

38:46 Geledek, bukan gledek -> sisipan el, misalnya keraton, bukan kraton

39:33 Swarabakti -> suara yang membaktikan dirinya untuk membuat kita lebih lancar berbicara. Swarabakti itu sisipan e yang membuat kita mengucapkan sesuatu menjadi lancar, misalnya, kayak kita bilang ksatria atau kesatria? Ada ‘e’. Nah, ‘e’ itu disebutnya swarabakti, untuk melancarkan (kita berbicara).

40:47 Aturannya, kalau itu kata serapan, kita enggak menyelipkan ‘e’, tapi kalau itu kata bahasa Indonesia, kita selipkan ‘e’, misalnya, keterampilan, bukan ketrampilan.

41:08 Sebenarnya kalau dilihat itu bahasa kita masih berevolusi, masih berubah, lah.

41:22 Nama bahasa Indonesia pertama kali itu bukan 1928, 1928 itu deklarasinya, penciptaannya 1926, waktu Kongres Pemuda pertama. Nama pencetusnya itu M. Tabrani. Jadi, kalau mau dicari (tahu) siapa Bapak Bahasa Indonesia sekarang . . . itu M. Tabrani. Beliaulah yang waktu itu mendesak Muhammad Yamin untuk mencantumkan (bahasa Indonesia) di dalam Sumpah Pemuda. (Di) draf awal, tulisannya ‘menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu’, dulu waktu 1926, tapi gara-gara Tabrani, dia bilang, ‘Enggak bisa, kalau kita nulisnya bahasa Melayu, kita tidak akan muncul sebagai sebuah bangsa.’”

42:39 “Pada situasi seperti apa kata-kata yang berlaku di masyarakat itu bisa dimasukkan ke dalam KBBI? Pertama, ketika kata itu belum ada, artinya konsep yang diwujudkan oleh kata itu belum ada dalam khazanah kosakata kita. Itu syarat pertamanya, katanya unik.”

44:26 “Pekamus itu mengumpulkan informasi berdasarkan data yang tersedia; mereka cari kata apa yang pernah dipakai, yang belum ada di KBBI mereka jaring, kemudian mereka lihat yang (memakai) itu siapa aja. Jadi, kalau yang (memakai) itu udah dua media massa besar, itu, ‘kan, artinya udah banyak yang pakai, ‘kan? Nah, itu kemudian diserap. Kayak elektabilitas. Kalau saya enggak salah, dalam pemilu 2009 itu kata (elektabilitas) mulai banyak digunakan oleh Tempo. Biasanya kalau yang pakai (kata) itu media massa, karena penyebarannya luas, itu lebih dipercaya.”

45:39 KBBI itu singkatan dari Kamus Besar (Bahasa Indonesia), bukan kamus baku, artinya besar itu kan artinya semua bahasa yang digunakan masyarakat; kalau sudah populer, itu akan dimasukkan KBBI. DIbedakannya nanti, ada lambangnya. Jadi, kalau masuk dalam ragam nonfomal, lambangnya itu ‘cak’, artinya ‘percakapan’”.

46:41 “Baku itu sama dengan standar, kan baku mutu itu standar mutu, artinya itu kosakata standar yang boleh digunakan dalam semua jenis tulisan, termasuk tulisan formal.”

50:08 “Benarkah bahasa Indonesia itu miskin kosakata? Intinya gini, intinya, menurut saya, linguis aja, ahli bahasa itu enggak pernah bilang sebuah bahasa itu miskin kosakata. Kenapa? Karena setiap bahasa itu punya aturan dan punya domain apa yang perlu dibahasakan olehnya. Bahasa itu bergantung pada apa yang menjadi budaya oleh bangsa tersebut.”

51:37 (Soal kemiskinan kosakata bahasa Indonesia), menurut saya, mungkin yang pertama mesti dilihat dulu seberapa banyak kata yang kita gunakan sehari-hari. Yang kedua, untuk apa kita pakainya.

54:36 “Kata itu diciptakan seiring dengan perkembangan budaya manusia. Kalau bukan kita (orang Indonesia) yang bikin, ya kita enggak punya kosakata untuk itu.

55:16 “Setiap bahasa itu punya untranslatable word. Kata yang takterterjemahkan. Saya baru nonton di Netflix itu film judulnya Sisu. Itu ternyata kata bahasa Finlandia yang tidak terterjemahkan. Itu artinya keberanian luar biasa yang muncul karena orang sudah putus asa.”

57:18 “Dalam bahasa Jawa (ada) kunduran, (artinya) ketabrak truk yang lagi jalan mundur. Spesifik banget. Selain itu ngabuburit.”

57:58 “Makanya indahnya bahasa itu, ya, karena dia erat banget dengan konteks budayanya.” [Raditya Dika]

58:09 KPST akan luluh jika bertemu awalan (menguasai, bukan mengkuasai, siram jadi menyiram dsb.)

58:58 “Waktu itu, gue pernah ngomong mempesona. ‘Radit, elu salah, Radit.’ [kata Windy Ariestanty, Editor]. Memesona.”

1:01:18 “Saya kalau nerangin di (X, dahulu Twitter, karena banyak anak Jaksel, kalau saya memberi contohnya dengan analogi bahasa Inggris, itu lebih bisa diterima. Jadi, misalnya itu for example; kalau misalkan itu imagine.”

1:02:35 “Begitu saya selesai ngajar bahasa itu saya ngerasa enggak capek; saya ngerasa dapat energi. Berarti, ‘kan, kalau kita melakukan sesuatu tapi enggak capek, itu artinya kita mengikuti renjana. Passion.” (thanks for highlighting this, Lucykokikata)

1:05:35 “Sastra itu memang luwes banget, ya. Maksudnya, apa yang berhasil untuk seorang penulis belum tentu berhasil untuk penulis lain.

1:06:36 “Ketika kita berbicara kita tidak mengenal ejaan. Kalau untuk berbicara, yang paling penting kalimatnya benar, struktur kalimatnya itu dipahami orang. Subjek, predikat, objek, nah, itu juga jadi masalah. Ketika (sebagian) orang Indonesia menulis, kalimat yang mereka buat itu banyak seperti kalimat lisan. Kalimat lisan itu tidak membedakan tanda baca.”

1:11:35 “Ketertiban tanda baca itu benar-benar hanya dipatuhi ketika kita menggunakan bahasa formal. (Dalam ragam) bahasa nonformal, enggak usah dibahas.”

1:12:08 “(Di) Narabahasa itu, toleransi saltik nol. Saltik itu typo. Jadi, kalau ada kiriman (atau) balasan medsos kami yang salah tik, itu pasti langsung dihapus, karena toleransi nol.”

1:12:53 “Memang antara bahasa formal dan bahasa nonformal berbeda. Mau enggak mau, kita menyelipkan komunikasi nonverbal di dalam pesan teks. Pesan teks itu kan hibrida antara teks tulisan dan lisan. Walaupun wujudnya tulisan, tapi orang merasa itu percakapan, makanya harus dilenturkan dengan emoji, dengan huruf yang banyak. Sekarang ada stiker. Kalau di kami itu, kami berhati-hati sekali menggunakan stiker, karena berdasarkan penelitian, frekuensi penggunaan stiker berbanding lurus dengan umur seseorang.”

1:14:51 [Soal kalimat ‘coba jelaskan arti kata terserah’.] “Bahasa itu bukan hanya masalah bentuk, tapi ada masalah makna. Kalau dulu, kita mengenalnya mungkin, ‘yang tersurat belum tentu yang tersirat.’”

1:15:42 [Tentang tulisan di kaus Narabahasa] “Mudah mengubah, sulit merubah.”

--

--

Yowidiyanto
Yowidiyanto

Responses (2)