Suasana yang terbangun (build-up) antara Nia dan Andi mengingatkan saya akan dua jenis bacaan: stensilan dewasa yang marak di era sebelum 2000-an dan roman miris nan manis (padanan: bittersweet) Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya legenda sastra kita, Umar Kayam.
Itu pujian, omong-omong, karena saya sendiri sudah berusia kepala tiga dan membaca cerpen itu, entah mengapa, sungguh membangkitkan nostalgia.
Kini saya penasaran dengan alur sekuel alias episode kedua dari cerpen tersebut dan, seandainya benar akan ada kelanjutan ceritanya, besar harapan saya konflik yang terbangun tidak terlalu melodramatis sebagaimana yang biasa ditemui di sinetron Sua*a Ha*i Ist*i.
Oh iya, kosakata saya juga diperkaya dengan kata ‘menguar’ yang baru saya ketahui ketika membaca cerpen ini.
Saya tunggu kelanjutannya!