Teruntuk: SINDIKASI (Terantuk Diri Sendiri)

Yowidiyanto
5 min readAug 24, 2024

--

“Your friend is not your therapist, and your therapist is not your friend.”

Maria Dolorosa Diena

“Selamat berproses, Yo.”

Agatha Danastri Pratiwi

“Jangan mati sebelum berguna.”

Puji Astuti

“Lebih baik 50% menang; 50% kalah (dalam perjuangan membela hak pekerja), daripada 100% kalah lantas nyerah gitu aja.”

Setyo [parafrase sebagian]

“(Sejumlah) laki-laki (cis hetero) sering tidak menghargai perempuan dengan mengabaikan pemikiran dan gagasan perempuan, bahkan kerap merendahkan perempuan semata karena (jeritan) ego yang rapuh dan mudah terluka.”

Rafa Tania [parafrase sebagian]

“Jangan setia pada orang; setia pada gagasan.”

Mantan Deputi Istana Negara yang berorasi pada acara Kamisan 22 Agustus 2024 — saya lupa nama bapak satu ini. Sori, ye?

Beberapa waktu lalu, saya memutuskan bergabung dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) karena tergiur iming-iming advokasi bagi pekerja bahasa (termasuk penerjemah dokumen, juru bahasa, penerjemah takarir, dsb.) melalui perumusan perjanjian kerja bersama/PKB (collective bargaining agreement) dan peningkatan daya tawar (bargaining power), terutama untuk pekerja bahasa lepas purnawaktu (full-time freelance language worker).

Tak ayal, jiwa aji mumpung saya meronta.

Mendaftarlah saya, dan beberapa bulan kemudian saya mengikuti Pendidikan Dasar Serikat (Diksarser) yang diadakan SINDIKASI lalu bersua kembali (walau hanya via suara dan citra) dengan Bayu (alias Masbay), salah satu mentor saya di dunia penerjemahan takarir. Kata-kata beliau pun terngiang hingga kini: “Aku manusia; aku bukan bola.” Diksarser ini sendiri terdiri dari paparan sejarah singkat SINDIKASI dan informasi tentang visi dan misi SINDIKASI yang diampu Facilitator dan Co-Facilitator di break-out room berbeda-beda dalam Zoom, serta sesi berbagi kegalauan pekerja media berbagai bidang (diskriminasi, fleksploitasi, dan lain-lain).

Setelah lulus Diksarser tersebut, saya dimasukkan ke dalam grup WhatsApp (GWA) Sindikasi Pusat (dan beberapa saat setelahnya ke GWA Sindikasi Jabodetabek).

Begitu datang ke Sekretariat Nasional/Jabodetabek (alias Sekre Jabo), saya berjumpa (secara kronologis) dengan Amru, Ketua SINDIKASI Jabodetabek; Hutomo; Setyo; Mia; Julia; Erlin; Tama; Bregas; dan Fila (ada dua orang lagi kawan Fila yang saya duga kuat Rafa dan Pipit/Mpit, tapi bisa jadi saya sotoy).

Tanpa ba-bi-bu, saya pun langsung gencar melancarkan serangan (too obvious?): sok-kenal-sok-dekat (SKSD); love-bombing; pansos/carmuk berat; dan kepo abis terhadap pencapaian nyata SINDIKASI — dan betapa saya kaget serta gembira ria karena bisa (kembali) optimis soal perbaikan nasib pekerja bahasa setelah berinteraksi dengan kawan-kawan di sana.

Walhasil, saya jadi lelah sendiri (it was so fucking draining) karena memaksa diri berinteraksi intens selama lebih dari tiga (3) jam bersama fellow hoomans (I prefer the company of cats and other non-human animals, thank you very much), tetapi juga senang karena merasa kepentingan saya selaras dengan agenda SINDIKASI.

I, and no one else, did it to myself, of course.

Bagaimanapun, ini ajang yang tepat untuk mengasah empati afektif, jika bukan empati kognitif saya. Practice makes perfect.

…or was it ‘fake it ’til you make it?’

Anyway.

Kali kedua, saya datang ke acara baca publikasi mandiri (zine) bareng SINDIKASI di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan. Di situ saya tergugah dengan renjana (passion) kawan-kawan yang berinisiatif membawa dan membagikan zine buatannya, sekaligus kagum dengan antusiasme kawan-kawan muda dari komunitas cosplay yang mematahkan stigma Gen Z yang apatis dan apolitis, serta asyik membaca zine karya Proyek Dekolonial.

Tak lama berselang, saya datang kembali ke Sekre Jabo dan bertemu (secara kronologis, lagi) dengan Ikhsan, Ketua Umum SINDIKASI (dari Bogor); Guruh (dari Bekasi), Ambro (dari UPN), Mia, Setyo, Evy (dari Bogor, tapi asal dari Sumba, seperti terabadikan dalam tato di lengannya dan karya tulisnya), seorang kawan Evy (dari mana? Dari Hong Kong?); dan dua sohib Evy; Kimo dan Frendy (dari Depok, proponen Proyek Dekolonial, yang mengajarkan pentingnya tidak merasa rendah diri/inferiority complex menghadapi bule-bule akademisi Eurosentris).

Seperti salah satu kutipan di atas, saya SELALU setia pada nilai dan gagasan (terutama terkait kebebasan berpikir individu), dan TIDAK PERNAH setia pada orang; jika memang Ikhsan, sang Ketum, (sebagai koordinator yang idealnya menampung aspirasi setiap anggota dan BUKAN seorang despot/raja, semoga) serius mengupayakan nilai-nilai progresif yang saya amini dan imani, tentunya saya akan tegak lurus mengikuti arah angin yang diembusnya.

Jika tidak? Ya saya cabut, lah, dari SINDIKASI (atau mungkin stay, jika memang asas meritokrasi, ramah ragam gender, dan anarki nonkekerasan tetap dianut mayoritas anggotanya). Let’s just see.

Simpelnya, saya ingin turut membantu semampu saya dalam perjuangan kawan-kawan pekerja bahasa alias pekerja teks komersial multilingual versus pemberi kerja yang zalim nan lalim serta tone-deaf alias enggak peka (baik disengaja maupun tidak) karena menawarkan pembayaran tarif jasa bahasa dengan nominal yang membagongkan, jika tak serta-merta memuakkan (di bawah batas minimum yang manusiawi sesuai standar industri), khususnya dalam konteks pekerjaan penyuntingan terjemahan mesin penerjemah (machine translation post-editing/MTPE) — perlu taji (baca: keberanian) dan taring (baca: kekuatan) yang riil untuk bisa nego dengan pemberi kerja agar si pemberi kerja ini enggak semena-mena.

Dengan demikian, risiko pekerja bahasa ‘kena mental’ alias mengalami gangguan psikis pun bisa dimitigasi.

Omong-omong soal gangguan psikis, mungkin hingga mati pun saya tak menemukan solusi yang definitif terhadap permasalahan psikis saya (kecuali terapi farmakologis alias obat-obatan rutin untuk pengidap bipolar), antara lain, kecenderungan narsisistik, Machiavellianisme (alias segala cara halal asal agenda pribadi tercapai), dan waham kebesaran (delusion of grandeur) yang bikin saya suka halu bin delulu — dan, sayangnya berpotensi nyusahin orang melulu.

To be a liability in the community is the WORST nightmare I could ever think of.

Namun, saya cukup yakin bahwa dengan berada di SINDIKASI, saya bisa memuaskan hasrat messiah complex dan attention-seeking saya secara lebih sehat dan terkendali, karena kadar pro-kontra antaranggota SINDIKASI cukup berimbang; TIDAK dominan pro (alias echo chamber tipis-tipis fasis) dan TIDAK pula dominan kontra hanya demi kontra itu sendiri (alias asbun, yang, sayangnya, kala kendali impuls saya tidak optimal, masih sering saya lakukan, walaupun, sepakat dengan Tiwi, saya berproses dan berupaya terus berinteraksi secara lebih baik dengan sesama).

Sungguh, ekspektasi saya SANGAT tinggi kepada kawan-kawan SINDIKASI, karena saya SANGAT yakin bakal dirujak (atau dianggap pariah dan dihakimi dalam diam seribu makna sesama anggota) jika ucapan dan tindakan saya tidak sesuai dengan nilai-nilai progresif yang sejalan dengan semangat SINDIKASI itu sendiri.

If you claim to have the moral high ground (at least when it comes to labor issues for culture workers), I’m pretty sure you CAN back it up with REAL actions,” itu pandangan saya kepada SINDIKASI — yang didukung dengan kemenangan-kemenangan kecilnya, misalnya, kesuksesan advokasi pembatasan waktu kerja 14 jam kerja (“Sepakat di 14”) untuk pekerja film; pengusutan kasus kekerasan seksual yang dialami buruh sawit; advokasi pendirian daycare di sejumlah wilayah; advokasi kasus kebijakan penalti ngadi-ngadi oleh pihak pemberi kerja, dan lainnya.

Saya mau terus belajar dari kawan-kawan SINDIKASI tentang pentingnya advokasi kasus dan advokasi kebijakan, serta mendukung nilai-nilai progresif seperti peningkatan jumlah pekerja perempuan di berbagai sektor dan perhatian lebih terhadap kawan-kawan marginal, ragam gender, dan neurodivergen, serta persoalan menyangkut ketimpangan (asymmetry) menyangkut relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja, serta saling-silang persoalan dari segi identitas politik dan sosial yang maujud menjadi gado-gado diskriminasi dan privilese (simply put, intersectionality).

Saya tertarik sekali mengikuti diskusi bersama narasumber relevan yang mungkin akan diadakan SINDIKASI tentang feminisme, maskulinitas toksik yang begitu mengakar dan sistemik (serta apa yang bisa dikategorikan maskulinitas sehat dan penerapannya secara realistis), mansplaining, patriarki, dan sebagainya.

Saya berharap bisa terus berkontribusi baik dalam gagasan maupun tindakan dengan ATAU tanpa aktif di SINDIKASI — biasa, lah; mati sebelum berguna, dan seterusnya, dan seterusnya.

(Memang, cringeworthy, seperti halnya slogan zaman Orba campur krisis perempat baya kedaluwarsa — tetapi benar adanya.)

--

--

Yowidiyanto
Yowidiyanto

Responses (1)